Menganalisis data adalah proses memaknainya. Bagi kebanyakan peneliti, menganalisis
data juga proses menggali cerita yang terpendam dalam data. Menganalisis
adalah proses ‘memeras’ data sehingga keluar intinya, atau proses
‘menyiksa’-nya sehingga ‘mengaku’.
Untuk penelitian positivistik yang melibatkan survei dengan kuesioner
yang didominasi pertanyaan tertutup, beragam software dapat digunakan:
mulai dari SPSS, Lisrel, AMOS, SmartPLS, Minitab, dan lain-lain. Pilihan
kita akan sangat tergantung dengan karakteristik data dan analisis apa
yang ingin dilakukan. Meski sudah tersedia software yang memudahkan
analisis, seorang peneliti seharusnya tetap mengetahui konsep di
belakang setiap metode yang digunakan. Tanpa pengetahuan ini, hasil
analisis statistik akan tampil tidak lebih dari deretan angka tanpa
makna.
Lain halnya ketika kita melakukan penelitian interpretif, seperti
ilustrasi pada pembuka tulisan ini. Bagi saya, menganalisis data seperti
ini jauh lebih menantang. Perlu waktu yang lebih lama dan kerja
intelektual yang lebih melelahkan. Ada banyak cara menganalisisnya atau
sering disebut dengan proses ‘sensemaking’. Strategi ‘sensemaking’ yang
ditawarkan oleh Langley (1999) dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ada
beragam strategi: (1) narrative strategy; (2) quantification strategy; (3) alternate templates strategy; (4) grounded theory strategy; (5) visual mapping strategy; (6) temporal bracketing strategy; dan (7) synthetic strategy. (1) strategi naratif, (2) strategi kuantifikasi, (3) strategi template alternatif, (4) strategi grounded theory, (5) strategi pemetaan visual, (6) strategi bracketing duniawi; dan (7) strategi sintetik Strategi ini akan sangat terkait dengan data yang kita punyai dan
cerita apa yang kita harapkan.
Mengakrabkan diri dengan hasil transkrip wawancara dan dokumen lain
adalah langkah awalnya. Tidak jarang kita perlu membacanya berulang kali
untuk menangkap ‘jalinan cerita’ antar dokumen (termasuk transkrip
wawancara). Jika kita termasuk yang merasa nyaman dengan teknologi
sederhana, bisa gunakan stabilo untuk menandai, misalnya. Bisa juga dengan memberikan kode di sisi
kalimat atau rangkaian kalimat yang menunjuk pada konsep tertentu.
Proses ‘sensemaking’ dilakukan di ‘kepala’. Jika data kita tidak cukup
terstruktur dan tidak terlalu banyak, teknik ini nampaknya masih bisa
berjalan baik.
Saya sendiri mengadopsi teknik ini. Tidak jarang di ruang kerja saya
pasang kertas ukuran besar untuk menggambar hubungan antar konsep yang
ditemukan di dokumen. Gambar bisa berubah setiap saat sebagai bagian
dari upaya menemukan ‘alur cerita’ yang lebih masuk akal atau lebih
menarik. Kita juga bisa menggunakan kertas post-it yang setiapnya
mewakili satu konsep. Kita bisa dengan mudah atur ulang posisinya untuk
menggambarkan sebuah cerita yang ingin kita tampilkan dalam artikel.
Ketika data yang kita punyai cukup besar dan kita lebih merasa nyaman
menggunakan komputer, saat ini di pasaran sudah beredar beragam
software untuk analisis data kualitatif. Beberapa di antaranya adalah
NVivo, HyperResearch, ATLAS.ti, atau Nudist. Dengan menggunakan software
ini kita bisa menandai dokumen yang mewakili sebuah konsep. Software
juga memfasilitasi pengelompokan konsep, menyusun konsep dalam urutan
tertentu, dan dapat membantu dalam memberikan gambaran antar konsep.
Versi mutakhir beberapa software tidak mengharuskan transkripsi
wawancara tersebut dahulu. Rekaman wawancara dapat langsung dianalisis
dengan menandai bagian wawancara yang mewakili konsep tertentu.
Tentu saja, seringkali analisis data tidak merupakan proses sekali
jalan. Beragam skenario kadang bisa kita aplikasikan. Beragam cerita pun
bisa muncul ke permukaan. Setiap artikel seharusnya menarasikan sebuah
cerita, dan cerita tersebut adalah hasil dari analisis data.
Daftar Bacaan
Fathul Wahid. 2012. Menganalisis data. publikasiinternasional
Langley, A. (1999). Strategies for theorizing from process data. Academy of Management Review, 24(4), 691-710.
No comments:
Post a Comment