Wednesday 29 May 2013

MELAKUKAN OBSERVASI DALAM PENELITIAN

Observasi sendiri awalnya digunakan secara ekstensif dalam penelitian etnografi yang melibatkan catatan lapangan (field notes) yang ekstensif (Van Maanen, 2011). Observasi dapat dilakukan pada beragam konteks di dunia nyata, dan biasanya (meskipun tidak selalu) digabungkan dengan teknik pengumpulan data lain seperti wawancara dan analisis dokumen/arsip.

Terlepas dari beberapa masalah yang menyertainya, termasuk masalah keterbukaan dengan yang diamati dan mendapatkan hak akses yang sulit, menurut Mulhall (2003), observasi mempunyai beberapa manfaat, di antaranya (a) memberikan tilikan (insight) atas interaksi antar elemen atau kelompok; (b) mengilustrasikan keseluruhan fenomena yang diobservasi; (c) menangkap konteks dan process; dan (d) menginformasikan tentang pengaruh lingkungan fisik. Observasi juga dapat digunakan untuk membandingkan apa yang orang katakan dan orang lakukan atau kenyataannya (Mulhall, 2003). Observasi dapat memvalidasi keterangan informan dengan membandingkannya dengan hasil observasi.

Salah satu contoh artikel favorit yang menggunakan observasi adalah Barley (1990). Barley sekarang adalah profesor di Stanford University dan mendapatkan PhD dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Observasi tersebut dilakukan ketika dia menempuh program PhD di MIT terhadap penggunaan teknologi (seperti CT scan, radiografi, dan ultrasound) oleh radiologis. Dia melakukan observasi selama setahun, empat hari sepekan, mulai jam 8-9 pagi sampai 6-7 jam sesudahnya; dengan hanya ‘libur’ selama tujuh pekan di antaranya. Setiap hari dia menghasilkan 20 halaman catatan lapangan atau total setebal 2500 halaman catatan lapangan spasi tunggal selama penelitian. Tujuan penelitian Barley adalah melihat bagaimana teknologi digunakan oleh radiologis dan bagaimana teknologi tersebut mempengaruhi struktur sosial melalui proses negosiasi dan interaksi. Ini adalah penelitian yang luar biasa karena menggunakan tiga macam perbandingan: antar rumah sakit, antar teknologi, dan antar waktu. Padahal, melakukan salah satu saja sudah cukup untuk mendapatkan predikat PhD.

Observasi, terutama yang melibatkan keterlibatan yang ‘dekat’ seperti contoh di atas, sangat menyita waktu. Bandingkan misalnya dengan survei yang bahkan bisa dilakukan dengan membayar enumerator. Selain itu, ada risiko ‘terhanyut’ ke dalam pandangan orang yang diamati dan tidak bisa menjaga interpretasi yang segar atas fenomena yang diobservasi (Walsham, 2006).

Catatan lapangan sangat sentral posisinya dalam observasi. Menurut Eisenhardt (1989) praktik yang baik dalam membuat catatan lapangan adalah dengan menuliskan apapun kesan yang muncul, karena kita tidak tahu catatan mana yang akan bermanfaat kemudian. Bisa jadi, yang tadinya kita anggap tidak bermanfaat dan tidak akan digunakan, justru menarik untuk dianalisis. Praktik yang baik lainnya, ketika membuat catatan lapangan, adalah dengan selalu mengajuan pertanyaan “apa yang saya pelajari?”, atau “apa yang beda dengan kasus sebelumnya?”.

Lebih spesifik, apa yang dapat ditulis dalam catatan lapangan? Mulhall (2003) memberikan daftar berikut:
  1. Karakteristik struktur dan organisasi (bentuk bangunan, fasilitas, serta lingkungan di sekitarnya dan bagaimana digunakan)
  2. Orang (bagaimana mereka berperilaku, berinteraksi, berpakaian, dan bergerak)
  3. Aktivitas harian
  4. Kejadian khusus (misal bagaimana rapat dilakukan, apa yang dibahas)
  5. Dialog yang terjadi
  6. Diari kejadian harian secara kronologis (baik di lapangan atau sebelum memasuki lapangan, misalnya terkait dengan proses mendapatkan akses)
  7. Diari refleksi personal (termasuk kesan/refleksi personal selama di lapangan)
Satu hal lagi perlu ditambahkan di sini. Jika mengambil gambar atau merekam dengan video diijinkan, lakukan. Ini akan merekam banyak hal yang tidak bisa dibuat dalam catatan lapangan. Apa yang Anda bayangkan ketika melihat gambar berikut. Gambar pertama adalah Dinas Perizinan di Yogyakarta, kedua Kantor Pelayanan Terpadu di Sragen, dan ketiga petani pengguna ponsel di kebun jagung di Bantul. 



Di sini, adagium ‘a picture is worth a thousand words’ berlaku. Namun gambar atau video yang direkam harus diinterpretasikan oleh peneliti dalam melakukan analisis data. Apalagi saat ini, paket software untuk analisis data kualitatif, seperti NVivo memfasilitasi analisis data dalam beragam bentuk, mulai dari teks, audio, gambar, sampai dengan video.

Pengalaman para ahli menunjukkan bahwa seringkali ketika melakukan observasi, terlintas bagaimana informasi yang saya dapat akan dianalisis kemudian. Termasuk di dalamnya kita perlu membuat skema hubungan antarkonsep, kategorisasi konsep, dan lain-lain, yang bisa saja jadikan rujukan dalam proses analisis.

Daftar Bacaan

Barley, S. R. (1990). Images of imaging: Notes on doing longitudinal field work. Organization Science, 1(3), 220-247.
Eisenhardt, K. M. (1989). Building theories from case study research. Academy of Management Review, 14(4), 532-550.
Fathul Wahid.  2012.  Melakukan observasi. Publikasiinternasional.
Mulhall, A. (2003). In the field: notes on observation in qualitative research. Journal of Advanced Nursing, 41(3), 306-313.
Van Maanen, J. (2011). Tales of The Field: On Writing Ethnography. University of Chicago Press.
Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15(3), 320-330.

Monday 27 May 2013

BEBERAPA KESALAHAN DALAM ANALISIS DATA

Analisis data kuantitatif dalam penelitian positivis yang melibatkan kuesioner terkadang terlihat sepele. Ada buku dan manual yang bisa diikuti.  Semuanya terlihat sempurna. Ada tabel dan angka yang bisa disalin-dan-ditempel dalam laporan atau artikel. Benarkan demikian? Belum tentu.

Ada banyak kesalahan yang dijumpai ketika membaca beragam dokumen ilmiah, baik itu skripsi atau tesis mahasiswa maupun artikel. Beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam analisis data kuantitatif dari kuesioner. Kesalahan juga kadang terkait dengan formulasi pertanyaan dalam kuesioner.


Pertama adalah kesalahan dalam memilih tingkat pengukuran (level of measurement): nomimal, ordinal, interval, atau ratio. Dalam SPSS, misalnya, hanya dikenal tiga jenis data: categorical, ordinal, dan scale. yang terakhir digunakan untuk mengakomodasi data interval dan ratio.

Contoh data nominal adalah jender. Hanya ada dua(?) kemungkinan: pria dan wanita. Contoh lain adalah golongan darah. Contoh data ordinal adalah jenjang pendidikan; mulai sekolah dasar dampai dengan universitas. Kita bisa mengurutkan data ini; dengan menyimpulkan, misalnya pendidikan si A lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan si A. Contoh data interval adalah suhu (dalam Celcius, bukan dalam Kelvin) atau penghasilan. Kita bisa ‘membandingkan’ nilai internal, misalnya dengan mengatakan penghasilan si A dua kali penghasilan penghasilan si B. Contoh data ratio adalah suhu tetapi dalam derajat Kelvin atau Fahrenheit, di mana nilai 0 (nol) di sana berbeda dengan 0 (nol) dalam sistem Celcius. Dalam sistem Celcius (data interval), kita bisa menyimpulkan bahwa 100 derajat adalah dua kali lebih panas dibandingkan 50 derajat. Tidak demikian halnya dengan 100 dan 50 derajat Kelvin, karena acuan nilai derajat Kelvin atau Fahrenheit tidak dimulai dengan 0 (nol).

Apa akibat pemilihan tingkat pengukuran ini? Ini terkait kesalahan kedua, kesalahan dalam memilih teknik statistik deskriptif. Tidak teknik analisis statistik dapat diaplikasikan untuk semua data. Sebagai contoh, kita tidak bisa menghitung rata-rata data nominal dan ordinal seperti contoh di atas. Anda tetap ingin tetap menghitung rata-rata? Untuk data nomimal tidak ada peluang, tetapi untuk data ordinal *kadang* masih ada peluang. Sebagai contoh, untuk jenjang pendidikan, kita bisa mengkonversinya dengan berapa lama dibangku pendidikan (schooling years) — dalam bentuk interval — karena kita tahu lama pendidikan setiap jenjang. Bagaimana jika yang kita buat dalam bentuk ordinal adalah tingkat penghasilan (misal a. <1 juta; b. 1-2 juta; dst)? Kita tidak bisa mengkonversikannya dalam bentuk internal, dan akibatnya kita tidak bisa menghitung rata-rata. Apa solusinya? Dalam kuesioner, tanyakan besar penghasilan, tetapi biarkan responden yang mengisinya tanpa kita memberikan pilihan. Lebih sulit bagi responden? Mungkin. Lebih tidak pasti? Bisa jadi. Tetapi bukankah dengan data ordinal, responden juga melakukan perkiraan.

Ketiga, masih terkait dengan kesalahan kedua, yaitu kesalahan dalam memilih teknik statistik untuk analisis multivariate. Sebagai contoh, kita tidak bisa menggunakan regresi biasa ketika variabel dependennya dalam bentuk nominal (misal untuk kasus adopsi: ya dan tidak yang diwakili oleh angka 0 dan 1). Kadang saya temukan penelitian yang ‘hantam kromo’ dalam menggunakan regresi berganda (multiple regression). Begitu juga halnya untuk analisis korelasi. Analisisi korelasi Pearson, misalnya didesain untuk data interval. Chi kuadrat digunakan untuk data nominal atau ordinal. Bagaimana kalau yang satu interval dan satunya lagi nominal? Komparasi rata-rata dengan uji t mungkin alternatifnya.

Keempat, seringkali peneliti tidak menguji reliabilitas dan validitas intrumen penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data dari responden. Validitas pengukuran terkait dengan ketepatan alat untuk mengukur yang kita ingin ukur. Sebagai contoh, kilometer adalah alat ukur yang valid untuk menghitung jarak di Jakarta, dan bukan waktu. Pertanyaan yang memberikan jawaban yang valid adalah ‘berapa kilometer jarak antara Monas dan Grogol’ dan bukan ‘berapa jam jarak antara Monas dan Grogol’. Reliabilitas tekait dengan konsitensi hasil pengukuran. Jika kita gunakan penggaris dari besi atau plastik untuk mengukur panjang meja, kita akan menghasilkan panjang yang sama meski kita lakukan berulang kali. Penggaris ini adalah alat ukur yang reliabel. Bagaimana kalau penggarisnya dari bahwa yang lentur seperti karet? Hasil yang berbeda bisa kita dapatkan. Penggaris karet bukan alat ukur yang valid. Contoh lain adalah soal untuk ujian TOEFL. Jika seseorang mengikuti tes TOEFL dua kali dalam sebulan (meski nampaknya tidak boleh), bisa jadi nilai yang didapatkan berbeda. Jika ini kasusnya, kita bisa mengatakan bahwa ujian TOEFL adalah alat ukur kemampuan bahasa Inggris yang valid, tetapi reliabilitasnya bisa didiskusikan.

Dalam penelitian positivis, pastikan kita melakukan uji ini, jika dalam instrumen kita mengukur sebuah konstruk yang terdiri dari beberapa item/pertanyaan untuk mengukurnya. Uji reliablitas bisa dilakukan dengan menghitung Cronbach’s alpha untuk setiap konstruk. Namun, sebelumnya lakukan uji validitas; misalnya dengan factor analysis baik itu confirmatory (jika intrument pernah digunakan atau dikembangkan dengan asumsi teoretikal tertentu, dan jumlah kontruk yang diharapkan sudah diketahu) atau explanatory (untuk instrumen baru). Namun tunggu sebentar. Tidak semua kontruk bisa duji relibalitasnya dengan nilai Cronbach’s alpha.
Ini kesalahan yang kelima. Cronbach’s alpha hanya diaplikasikan jika konstruk bersifat reflektif dalam item yang digunakan untuk mengukurnya. Contoh konstruk adalah ‘ease of use‘ dalam Technology Acceptance Model (TAM). Konstruk ‘ease of use‘ dioperasionalkan dengan beberapa item yang menggambarkannya, seperti terkait dengan tiadanya usaha yang keras dan kecilnya pengetahuan yang dibutuhkan. Lain halnya jika konstruk yang diukur adalah ‘status sosial’ yang terdiri dari beragam item, misalnya pendidikan, penghasilan, jabatan, dan lain-lain. Konstruk terakhir bersifat formatif, dan nilai kumulatif semua item membentuk sebuah indeks. Dalam kasus ini, Cronbach’s alpha tidak bisa diaplikasikan.

Untuk melakukan uji ini, jika kita menggunakan SPSS, beragam uji harus dilakukan terpisah. Tetapi jika kita gunakan analisis SEM atau PLS, dengan software yang tepat (misalnya SmartPLS), semua analisis, mulai dari uji reliabilitas dan validitas, sampai dengan regresi dapat dilakukan sekaligus.
Masih banyak kesalahan lain yang sering saya jumpai. Lima kesalahan di atas, menurut saya sangat mendasar, dan bisa dengan mudah dihindari dengan sedikit peduli dengan ‘filosofi’ di balik setiap konsep dalam statistik yang ada.

sumber:

Fathul Wahid.  2012.   Beberapa kesalahan analisia data dalam penelitian positivisme.. Publikasiinternasional





BAGAIMANA LANGKAH-LANGKAH MENGANALISIS DATA?

Menganalisis data adalah proses memaknainya. Bagi kebanyakan peneliti, menganalisis data juga proses menggali cerita yang terpendam dalam data. Menganalisis adalah proses ‘memeras’ data sehingga keluar intinya, atau proses ‘menyiksa’-nya sehingga ‘mengaku’.

Untuk penelitian positivistik yang melibatkan survei dengan kuesioner yang didominasi pertanyaan tertutup, beragam software dapat digunakan: mulai dari SPSS, Lisrel, AMOS, SmartPLS, Minitab, dan lain-lain. Pilihan kita akan sangat tergantung dengan karakteristik data dan analisis apa yang ingin dilakukan. Meski sudah tersedia software yang memudahkan analisis, seorang peneliti seharusnya tetap mengetahui konsep di belakang setiap metode yang digunakan. Tanpa pengetahuan ini, hasil analisis statistik akan tampil tidak lebih dari deretan angka tanpa makna.

Lain halnya ketika kita melakukan penelitian interpretif, seperti ilustrasi pada pembuka tulisan ini. Bagi saya, menganalisis data seperti ini jauh lebih menantang. Perlu waktu yang lebih lama dan kerja intelektual yang lebih melelahkan. Ada banyak cara menganalisisnya atau sering disebut dengan proses ‘sensemaking’. Strategi ‘sensemaking’ yang ditawarkan oleh Langley (1999) dapat dijadikan rujukan. Menurutnya, ada beragam strategi: (1) narrative strategy; (2) quantification strategy; (3) alternate templates strategy; (4) grounded theory strategy; (5) visual mapping strategy; (6) temporal bracketing strategy; dan (7) synthetic strategy. (1) strategi naratif, (2) strategi kuantifikasi, (3) strategi template alternatif, (4) strategi grounded theory, (5) strategi pemetaan visual, (6) strategi bracketing duniawi; dan (7) strategi sintetik Strategi ini akan sangat terkait dengan data yang kita punyai dan cerita apa yang kita harapkan.

Mengakrabkan diri dengan hasil transkrip wawancara dan dokumen lain adalah langkah awalnya. Tidak jarang kita perlu membacanya berulang kali untuk menangkap ‘jalinan cerita’ antar dokumen (termasuk transkrip wawancara). Jika kita termasuk yang merasa nyaman dengan teknologi sederhana, bisa gunakan stabilo untuk menandai, misalnya. Bisa juga dengan memberikan kode di sisi kalimat atau rangkaian kalimat yang menunjuk pada konsep tertentu. Proses ‘sensemaking’ dilakukan di ‘kepala’. Jika data kita tidak cukup terstruktur dan tidak terlalu banyak, teknik ini nampaknya masih bisa berjalan baik.

Saya sendiri mengadopsi teknik ini. Tidak jarang di ruang kerja saya pasang kertas ukuran besar untuk menggambar hubungan antar konsep yang ditemukan di dokumen. Gambar bisa berubah setiap saat sebagai bagian dari upaya menemukan ‘alur cerita’ yang lebih masuk akal atau lebih menarik. Kita juga bisa menggunakan kertas post-it yang setiapnya mewakili satu konsep. Kita bisa dengan mudah atur ulang posisinya untuk menggambarkan sebuah cerita yang ingin kita tampilkan dalam artikel.

Ketika data yang kita punyai cukup besar dan kita lebih merasa nyaman menggunakan komputer, saat ini di pasaran sudah beredar beragam software untuk analisis data kualitatif. Beberapa di antaranya adalah NVivo, HyperResearch, ATLAS.ti, atau Nudist. Dengan menggunakan software ini kita bisa menandai dokumen yang mewakili sebuah konsep. Software juga memfasilitasi pengelompokan konsep, menyusun konsep dalam urutan tertentu, dan dapat membantu dalam memberikan gambaran antar konsep. Versi mutakhir beberapa software tidak mengharuskan transkripsi wawancara tersebut dahulu. Rekaman wawancara dapat langsung dianalisis dengan menandai bagian wawancara yang mewakili konsep tertentu.

Tentu saja, seringkali analisis data tidak merupakan proses sekali jalan. Beragam skenario kadang bisa kita aplikasikan. Beragam cerita pun bisa muncul ke permukaan. Setiap artikel seharusnya menarasikan sebuah cerita, dan cerita tersebut adalah hasil dari analisis data.

Daftar Bacaan

Fathul Wahid. 2012.  Menganalisis data.  publikasiinternasional

Langley, A. (1999). Strategies for theorizing from process data. Academy of Management Review, 24(4), 691-710.

BAGAIMANA MELAKUKAN SURVAI?

Salah satu metode pengumpulan data paling populer dalam penelitian positivis adalah survai menggunakan kuesioner. Penelitian positivis biasanya melibatkan proposisi formal, variabel yang dapat dikuantifikasi, dan pengujian hipotesis (Orlikowski dan Baroudi, 1991). Metode ini terlihat sederhana, dan karenanya sering disepelekan. Kenyataanya tidak demikian.

Berdasar pengalaman dalam membaca dan mereview artikel jurnal atau konferensi, ada beragam isu yang bisa didiskusikan. Setiap isu ini hanya akan didiskusikan dengan singkat dan disertai dengan ilustrasi praktik.

Pertama, penelitian positivis biasanya mengembangkan model penelitian yang menggambarkan hubungan antarvariabel. Penelitian seringkali membangun model dengan memasukkan variabel dari beragam sumber (e.g., teori, model, konsep, dan lain-lain). Masalah yang sering saya temukan adalah lemahnya argumen yang digunakan ketika membangun model. Variabel yang biasanya direpresentasikan dalam bentuk ‘kotak’ dalam model seringkali berasal dari sumber lain yang mempunyai asumsi berbeda-beda ketika dikembangkan. Proses ini menurut saya mirip dengan masalah menggabungkan beragam ‘lensa teorietis’ ke dalam sebuah penelitian (Okhuysen dan Bonardi, 2011). Ada berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan. Di antaranya adalah kedekatan ‘lensa’ yang akan digunakan, termasuk asumsi dasar yang digunakan ketika ‘lensa’ tersebut dikembangkan . Sebagai contoh, memasukkan variabel yang didasari oleh teori yang mengandaikan bahwa ‘manusia selalu rasional’, dan lainnya yang didasari oleh teori yang mengasumsikan bahwa ‘manusia tidak selalu rasional’, memerlukan argumen yang kuat.



Kedua, setiap variabel yang digunakan seharusnya didefinisikan dengan jelas. Definisi ini akan mempengaruhi dalam tahap operasionalisasinya ke dalam item-item yang mengukurnya. Kadang saya menemukan antara definisi operasional dan item-item yang dikembangkan tidak ‘klop’.  Bisa jadi, masalah ini mungkin karena praktik membuat ‘montase’ dari beragam sumber tanpa mempertimbangkan isu pertama di atas. Item-item tersebut dapat bersumber dari konsep atau teori  yang ada atau dari proses wawancara atau observasi di lapangan.

Dalam konteks ini, pertimbangkan dengan baik tingkat pengukuran setiap (level of measurement) variabel (nominal, ordinal, interval atau rasio) dan jika digunakan, juga poin dalam skala Likert (biasanya ganjil, seperti 5 dan 7). Yang terakhir ini, sesuaikan dengan derajat variasi jawaban yang Anda harapkan. Kesalahan fatal lain yang perlu dihindari adalah, jika penelitian Anda ingin menguji hubungan antarvariable, jangan sekali-kali menanyakan hubungan variabel ini di dalam kuesiober kepada responden. Ukur setiap variabel secara terpisah. Kesalahan dapat menentukan tingkat pengukuran akan mempengaruhi fleksibitas dalam analisis data. Sebagai contoh, regresi ganda tidak bisa digunakan jika variabel dependen diukur secara dikotomis (nominal). Uji korelasi Spearman, misal lain, tidak bisa digunakan untuk data nominal, dan seterusnya.

Ketiga, uji instrumen seringkali tidak dilakukan secara memadai. Seharusnya, sebelum kuesioner didistribusikan secara massal harus sudah diuji dengan baik. Pengujian dilakukan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen. Instrumen kemudian dapat diperbaiki dengan beragam tindaklanjut: penambahan, penghapusan, dan/atau pengubahan item. Mengapa pengujian ini penting sebelum survei massal? Tidak seperti penelitian interpretif yang memungkinkan kita kembali ke ‘lapangan’ setiap saat untuk menambah data, penelitian positivis adalah proses ‘sekali jalan’. Ketika kuesioner yang disebarkan ‘salah’, maka data yang didapatkan pun menajdi bermasalah. Memang ketika misalnya, ada tambahan item yang ditanyakan, bisa dilakukan penyebaran ulang, tetapi apakah ini dapat menjamin kalau akan didapatkan respon yang sama? Jika distribusi kuesioner dibuat dalam dua atau lebih bahasa, ada baiknya dilakukan uji potensi bias dari respons yang didapat.

Keempat, jika populasi responden diketahui dengan daftar yang jelas, maka Anda patut bersyukur. Namun di lapangan, seringkali tidak demikian halnya. Ini terkait dengan penelitian sampel dan metode sampling. Apapun metode sampling yang dipilih, pastikan Anda mempunyai argumen mengapa metode ini dianggap tepat untuk penelitian Anda. Jumlah sampel yang didapat seringkali juga tidak sebanyak yang diharapkan karena response rate yang rendah. Untuk ini, metode analisis statistik juga perlu dipilih dengan tepat.
Kelima, di lapangan seringkali dibutuhkan strategi untuk memperbaiki response rate. Beragam strategi dapat digunakan, termasuk dengan surat, sebar-dan-kumpul, wawancara langsung, wawancara telpon, atau online. Pilihan strategi biasanya tergantung dengan responden yang disasar dan sebarannya.

Sebagai penutup, rumus sederhana untuk setiap isu di atas adalah: untuk setiap pilihan yang dibuat, berikan argumen yang kuat. Dengan pemikiran demikian, kesalahan atau stres ketika melakukan penelitian dapat diminimalkan.

Daftar Bacaan

Fathul Wahid.  2012. Melakukan survei. publikasiinternasional.

Okhuysen, G., & Bonardi, J. P. (2011). The challenges of building theory by combining lenses. Academy of Management Review, 36(1), 6-11.
Orlikowski, W. J., & Baroudi, J. J. (1991). Studying information technology in organizations: Research approaches and assumptions. Information Systems Research, 2(1), 1-28.

BAGAIMANA MENULIS ABSTRAK?

Abstrak meskipun berada di bagian awal artikel, biasanya juga ‘ditulis lengkap’ ketika artikel sudah diselesaikan. Hal ini bukan berarti harus menunggu tulisan selesai baru menulis abstrak. ‘Memulai’ menulis abstrak di awal penulisan akan sangat bermanfaat, untuk meyakinkan diri kita bahwa kita mengetahui dengan pasti apa yang kita akan tuliskan dalam artikel (Walsham, 2006). Dalam praktik, abstrak sangat mungkin mengalami penyesuaian di ‘sana-sini’ setelah seluruh artikel diselesaikan.


Nampaknya saat ini, hampir semua publikasi ilmiah termasuk tesis dan disertasi mensyaratkan adanya abstrak. Mengapa abstrak penting? Abtrak adalah bagian artikel yang paling sering dibaca setelah judul. Jika setelah membaca abstrak, seorang pembaca tidak tertarik, jangan harap artikel kita akan dibaca. Meminjam bahasa iklan, abstrak sangat penting untuk memberikan kesan pertama, selanjutnya terserah pembaca. Tentu, dalam etika akademik, kesan dalam abstrak bukan kesan palsu, untuk sekedar untuk ‘tebar pesona’. Bukan.
Ingat, abstrak bukanlah pendahuluan. Sepeti namanya, abstrak adalah ringkasan, ikhtisar. Day (1975) memberikan arahan yang simpel dan jelas tentang apa yang seharusnya dalam abstrak yang panjangnya biasanya tidak lebih dari 200-250 kata ini. Dari sisi konten, abstrak seharusnya berisi:

1. Menunjukkan tujuan dan lingkup penelitian/kajian
2. Memberikan gambaran metode yang digunakan
3. Merangkum temuan penelitian
4. Menyatakan kesimpulan utama penelitian

Karena seringkali penulis berperilaku sangat mekanistik yang mengawali abstrak dengan “This study aims to … ” atau sejenisnya, saya temukan panduan jurnal yang bahkan secara eksplisit ‘melarangnya’, dan meminta penulis lebih kreatif dalam menulis abstrak. Alasannya sebetulnya sangat sederhana, supaya abstrak tidak sangat kaku dan menjadi tidak menarik. Bayangkan saja, makan enak dengan menu yang sama saja, membuat kita bosan, apalagi membaca abstrak yang monoton sambil berpikir. Pasti dijamin lebih membosankan.

Klein et al. (2006) secara metaforis menyatakan bahwa fungsi abstrak adalah seperti membawa kuda masuk ke air, untuk minum. Menurut mereka ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menulis abstrak dari sisi kualitas. Supaya pembaca tertarik meneruskan membaca artikel, maka ketika membaca abstrak, pembaca seharusnya menilai bahwa abstrak dianggap penting (important), terakses (accessible) – ide yang disampaikan mudah dipahami, dan applicable – dapat diterapkan dalam penelitian atau pekerjaan yang sedang dijalankan.

Apakah abstrak yang pernah kita tulis memenuhi kriteria konten dan kualitas di atas? Jika tidak, tidak usah kaget dan sedih ketika hanya sedikit – atau bahkan tidak ada pembaca – yang tertarik dengan artikel kita. Jika demikian, tidak perlu banyak berharap bahwa artikel yang kita tulis dikutip orang lain. Meski demikian, nasihat orang bijak menyatakan: teruslah meneliti dan menulis … dan selalu berusaha menulis abstrak yang baik.

Daftar Bacaan
Day, R. (1975). How to write a scientific paper. IEEE Transaction on Professional Communication, 41(7), 486-494.
Fathul Wahid. 2012. Menulis Abstrak. publikasiinternasional.wordpress.com
Klein, G., Jiang, J., dan Saunders, C. (2006). Leading the horse to water. Communications of the Association for Information Systems, 18(1). Available at: http://aisel.aisnet.org/cais/vol18/iss1/13.
Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15(3), 320-330

BAGAIMANA MENULIS TEMUAN STUDI?

Sebagian orang berpendapat, bagian temuan sebaiknya ditulis dalam satu bab/bagian tersendiri, sebagian yang lain menyatakan bagian ini dapat digabung dengan bab/bagian diskusi. Saya termasuk penganut madzhab yang pertama. Sebelum memilih, silakan periksa tradisi yang biasanya dianut dalam disipilin Anda. Salah satunya dengan melakukan pemindaian terhadap artikel yang sudah diterbitkan, terutama dalam outlet yang bereputasi baik.
Dalam bagian ini, temuan dituliskan berdasar hasil analisis data yang telah dilakukan dan tanpa diinterpretasikan. Tuliskan saja dalam bentuk deskriptif.


Menuliskan bagian temuan ini seakan-akan tanpa masalah. Namun ternyata tidak demikian kenyataanya. Paradigma penelitian yang digunakan pun akan mempengaruhi bagaimana bagian ini ditulis. Paradigma positivis-nomotetik yang banyak dianut di kalangan akademisi Amerika Utara dan paradigma interpretif-idiografik yang menjadi tradisi di Eropa menuntut hal yang berbeda.

Penelitian positivis
Dalam penelitian positivis yang melibatkan pengujian hipotesis dan survei, bagian temuan dapat berisi beberapa hal berikut. JIka belum dilaporkan dalam bagian metode (ini akan saya bahas dalam entri lain), hasil uji reliabilitas dan validitas instrumen dapat dituliskan dalam bagian ini, termasuk strategi pengumpulan data. Beberapa tabel, terkait dengan uji ini, dan termasuk uji asumsi klasik (jika diinginkan, seperti uji distribusi data, multikolinieritas, heteroskedasitas) dapat ditulis di bagian ini.
Selanjutnya, presentasi deskriptif data dapat dilaporkan. Biasanya dalam bentuk tabel demografik responden. Apa yang biasanya salah dalam menampilkan tabel? berdasar pengamatan saya yang terbatas, kadang penulis terlalu ‘malas’ untuk merangkum tabel dan menyajikan tabel apa adanya dari software analisis statistik, seperti SPSS. Terus terang saya agak ‘mules’ menemukan yang demikian. Logikanya sangat sederhana: lha, kalau penulis saja malas dalam mengambil inti tabel dan menyajikannya dalam bentuk yang enak dibaca dan mudah dipahami, mengapa reviewer atau pembaca harus membacanya. Bagaimana tabel yang baik dibuat? Sila lihat artikel di jurnal yang berkualitas baik.

Jika penelitian Anda juga menguji hipotesis, bagaimana hal itu dilakukan juga perlu dijelaskan, termasuk dengan hasil dari ujinya. Hasil uji bisa berupa tabel hasil analisi korelasi atau regresi (dengan semua varianya, termasuk analisis model struktural atau analisis path dalam SEM atau PLS).

Tentu saja, yang ditambilkan dalam bagian temuan tidak hanya ‘parade’ tabel. Meski tabel seharusnya dapat dipahami tanpa melihat narasi, menyajikan tabel tanpa narasi seperti halnya membaca ‘handsout’ kuliah. Buat narasi yang singkat dan menggambarkan temuan-temuan penting yang ditunjuk dalam tabel. Sekali lagi, tanpa interpretasi temuan dan argumentasi.

Penelitian interpretif
Bagaimana untuk penelitian interpretif? Strategi sensemaking yang telah dibahas dalam posting khusus dapat membimbing kita dalam bagian ini. Dalam tradisi penelitian ini, meski kualitas narasi merupakan senjata utama, namun jika Anda bisa merangkumnya dalam tabel atau gambar yang representatif akan sangat membantu pembaca dalam memahami tulisan.

Narasi dapat dituliskan dalam beragam cara; diantaranya dikelompokkan berdasar tema atau dalam urutan kejadian. Kalau tujuan penelitian adalah mengidentifikasi faktor penghambat dan pendorong adopsi cloud computing oleh perusahaan besar, misalnya, narasi berdasar tema lebih tepat. Lain halnya jika fokus penelitian adalah melacak ‘sejarah’ implementasi teknologi informasi dalam bidang pengadaan barang/jas di sektor publik (eProcurement), narasi dalam urutan kejadian menjadi lebih tepat. Ini hanya dua kemungkinan strategi narasi, dan keduanya dapat digabungkan. Sebagai contoh, ketika Anda tertarik melihat faktor pendorong dan penghambat adopsi cloud computing dalam beberapa tahap implementasi, mulai dari keputusan adopsi, implementasi teknis, dan seterusnya; kedua strategi dapat digabungkan. Ingat pertanyaan penelitian yang dituliskan di bagian pendahuluan. Seharusnya bagian temuan digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut sebelum diulas lebih lanjut di bagian diskusi.

Memasukkan kutipan hasil wawancara dalam narasi akan sangat menguatkan argumen, selain menunjukkan bukti bahwa hasil interpretasi didukung oleh data. Namun demikian, pilihkan kutipan yang benar-benar mendukung argumen atau klaim yang dituliskan.

Tabel atau gambar dapat berupa kategorisasi tema/konsep, periodisasi kejadian kritis, hubungan antar tema/konsep dengan tema/konsep yang lain, atau mungkin dalam bentuk yang lain. Tabel 2×2 (atau lebih) yang setiap aksisnya menggambarkan ‘variabel’ tertentu juga sering digunakan. Tabel atau gambar ini menjadi sangat penting, ketika kebijakan pengelola jurnal atau konferensi tidak memberikan halaman yang cukup untuk menarasikan temuan. Saya pernah harus ‘berjuang’ memotong artikel dengan panjang 11.500 kata yang diterbitkan dalam prosiding, ke dalam artikel jurnal dengan panjang 5.000 kata. Itu pun masih harus dimasukkan materi baru seperti saran dari reviewer. Dalam kasus ini, tabel dan gambar akan sangat membantu. Saya pernah juga harus memotong empat halaman dari 16 halaman yang sudah ada. Lagi-lagi, selain saya harus menelusur ulang setiap kalimat dan membuatnya lebih efektif, saya juga lakukan dengan merangkum temuan ke dalam tabel.

Sekali lagi, narasi yang dituliskan adalah hasil analisis data, dan jangan diskusikan dahulu di bagian temuan. Tuliskan interpretasi dan argumentasi dalam bagian diskusi.

sumber:
publikasiinternasional

LINK PENTING

http://publikasiinternasional.wordpress.com/

BAGAIMANA MENULIS PENDAHULUAN SUATU TULISAN ILMIAH?

Pendahuluan benar-benar ditulis di awal dari sebuah artikel, tesis atau disertasi, sebelum melanjutkan ke bagian selanjutnya. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan untuk dipoles di waktu kemudian untuk memuluskan alur cerita artikel.

Pendahuluan seharusnya jangan terlalu panjang. Meski sulit memberikan pedoman yang pasti, namun biasanya 1-2 halaman halaman. Satu halaman untuk artikel yang pendek (sekitar 10-12 halaman) atau dua halaman untuk artikel yang lebih panjang. Untuk artikel konferensi gaya IEEE yang biasanya sangat ‘hemat’ dalam jumlah halaman (biasanya maksimal 6 halaman), pendahuluan satu halaman penuh tentu terlalu panjang. Kira-kira panjang bagian pendahuluan adalah 10% dari keseluruhan artikel (Grant dan Pollock, 2011).



Temuan studi Grant dan Pollock (2011) cukup mengejutkan. Bagian yang hanya 10% bagian dari artikel ini menghabiskan 24% dari keseluruhan waktu menulis artikel. Studi ini dilakukan pada penulis 25 artikel yang mendapatkan AMJ Best Article Award. Bahkan mereka rata-rata melakukan revisi 10 kali (!!!) pada bagian ini.
Tujuan menulis pendahuluan adalah mengantarkan pembaca kepada isi artikel. Sebagaimana abstrak, pendahuluan seharusnya juga berfungsi sebagai ‘hook’ yang menarik pembaca untuk meneruskan membaca artikel.

Apa yang seharusnya ditulis di pendahuluan? Menurut Walsham (2006), pendahuluan seharusnya menjelaskan:
1. Mengapa topik artikel penting
2. Bagaimana kontribusi artikel dikembangkan
3. Struktur artikel
Uraikan dengan singkat mengapa penelitian yang kita laporkan penting dan relevan. Tentu penting untuk komunitas akademik, penting secara objektif, dan bukan dari kacamata penulis saja. Bagian ini bisa diisi dengan uraian ‘gap’ yang kita temukan dalam literatur ataupun dalam praktik. ‘Gap’ ini akan membimbing kita dalam rumusan pertanyaan penelitian. Biasanya menuliskan pertanyaan penelitian dalam pendahuluan. Biasanya dalam kalimat tanya, tetapi tidak selalu.

Kontribusi adalah upaya mengisi ‘gap’. Bagaimana pertanyaan masalah dirumuskan dan kontribusi didefinisikan? lihat posting tentang itu. Namun mengidentifikasi ‘gap’ terkadang tidaklah cukup, tetapi harus dijelaskan mengapa mengisi ‘gap’ ini penting dan menarik (Grant and Pollock, 2011).
Struktur artikel biasanya dituliskan dalam paragraf terakhir pendahuluan. Hanya saja perlu diperhatikan, keterlanjuran yang terjadi dalam dunia akademik Indonesia jangan digunakan di sini. Apa itu? Tuliskan apa yang akan dibahas *selanjutnya* dalam artikel. Dalam laporan, skripsi, dan tesis di Indonesia (tentu tidak semua), biasanya di akhir bab 1 ada sistematika penulisan, dan di sana tetap dimasukkan bab 1 membahas bla bla bla. Lha, sudah dilewati kok harus dijelaskan lagi. Aneh. Tapi memang mengubah keterlanjuran tidaklah mudah, seperti yang pernah saya alami sendiri.

Paragraf terakhir pendahuluan, biasanya ditulis seperti
The remainder of the paper is structured as follows. …” atau “The rest of the paper is divided into six sections. …,”"Selanjutnya makalah ini disusun sebagai berikut. ... "Atau" Paper ini selanjutnya dibagi menjadi enam bagian. dan sejenisnya. Gunakan kreativitas untuk menuliskannya. Tetapi jika berisiko, tidak ada salahnya menggunakan teknik ‘mimicking’ dengan melihat artikel berkualitas yang sudah terbit.
Namun, madzhab lain memberikan pedoman yang berbeda, terutama untuk disiplin yang tidak menganggap bagian khusus teori dalam artikel sangat penting.

Menurut Day (1975), pendahuluan seharusnya:
1. Mempresentasikan dengan jelas batasan masalah yang diteliti
2. Untuk mengarahkan pembaca, tinjauan pustaka singkat dapat dimasukkan
3. Metode penelitian seharusnya dinyatakan, dan jika diperlukan juga dituliskan alasan mengapa metode tersebut dipilih
4. Menyatakan hasil penting penelitian.

Bagi Day (1975), membuat pembaca menebak-nebak sebagaimana film ‘suspense’ tidak baik dalam publikasi ilmiah. Pedoman ini juga diamini oleh Suppe (1998) yang menyatakan kadang teori digabungkan ke dalam pendahuluan.

Bagaimana supaya pendahuluan dapat ditulis dengan lancar dan baik? Kita dutuntut untuk memperjelas alur cerita artikel sebelum mulai menulis. Alur cerita memang bisa berubah, tetapi itu bukan alasan untuk tidak merencanakan alur cerita.
Grant dan Pollock (2011) memberikan panduan dengan gaya lain tentang apa yang seharusnya ada dalam pendahuluan. Pendahuluan seharusnya menjawab pertanyaan (a) who cares?; (b) what do we know, what don’t we know, and so what?; dan (c) what will we learn? (a) siapa yang peduli,? (b) apa yang kita tahu, apa yang tidak kita ketahui, dan jadi apa,? dan (c) apa yang akan kita pelajari?

Temuan studi Swales (1981) dapat dijadikan acuan yang lebih detil. Dalam studinya terhadap bagian pendahuluan artikel dari beragam disiplin, dia menemukan pola yang mirip yang dapat dikelompokkan ke dalam empat ‘move’. Empat ‘move’ tersebut adalah (Swales, 1981; p. 22A):


Move One: Establishing the field by
a. Showing centrality of the topic, or
b. Stating current knowledge of the topic, or
c. Ascribing key characteristics
Move Two: Summarising previous research
Move Three: Preparing for present research by
a. Indicating a gap, or
b. Question-raising, or
c. Extending a finding
Move Four: Introducing present research by
a. Stating the purpose of the research, or
b. Describing briefly present research.

 (Pindah Satu: Membangun lapangan oleh
a. Menampilkan sentralitas topik, atau
b. Menyatakan pengetahuan saat ini dari topik, atau
c. Menganggap karakteristik kunci

Pindahkan Dua: penelitian sebelumnya Meringkas

Pindahkan Tiga: Mempersiapkan untuk penelitian ini dengan
a. Menunjukkan kesenjangan, atau
b. Pertanyaan dana, atau
c. Memperluas sebuah temuan

Pindah Empat: Memperkenalkan penelitian ini dengan
a. Menyatakan tujuan penelitian, atau
b. Menggambarkan penelitian singkat ini.


Selain itu, menurut Grant dan Pollock (2011), ada dua kesalahan besar yang sering ditemui dalam pendahuluan, yaitu (a) gagal dalam memotivasi dan merumuskan masalah, dan (b) overpromising.

Seperti halnya abstrak, jika pembaca tidak merasa tertarik setelah membaca pendahuluan, jangan banyak berharap bahwa mereka akan meneruskan membaca artikel kita. Jadi bagian pendahuluan yang kadang dianggap tidak penting ini, jangan pernah disepelekan. Kecuali memang jika filosofi Anda, ‘yang penting menulis, dibaca atau tidak bukan urusan saya’. Jika demikian, tentu siapapun sulit berkomentar, termasuk juga untuk menyalahkan Anda!

Daftar Bacaan

Day, R. (1975). How to write a scientific paper. IEEE Transaction on Professional Communication, 41(7), 486-494.
 Fathul Wahid. 2012.  Menulis pendahuluan. publikasiinternasional.
Grant, A. M., dan Pollock, T. G. (2011). From the editors: Publishing in AMJ – Part 3: Setting the hook. Academy of Management Journal, 54(5), 873-879.

Suppe, F. (1998). The structure of a scientific paper. Philosophy of Science, 65(3), 381-405.
Swales, J. (1981). Aspects of article introductions. Aston Research Reports, No. 1, Birmingham: University of Aston.
Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15(3), 320-330.

MENULIS KESIMPULAN DALAM TULISAN ILMIAH

Bagaimana seharusnya bagian kesimpulan ditulis? Trzeciak and MacKay (1994) memberikan resep menulis bagian kesimpulan. Resep ini tentu saja dapat diadaptasikan sesuai dengan konteks penulisan. Menurut mereka, bagian kesimpulan berisi (seperti biasa, Kristiansand (2012) menambahkan interpretasi dan ilustrasi untuk memperjelas):
1. Ringkasan temuan penelitian. Namun perlu diperhatikan, bagian ini seharusnya tidak mengulang sama persis dengan apa yang sudah dituliskan sebelumnya di bagian analisis atau diskusi.
2. Deduksi atau pengambilan kesimpulan dari uraian sebelumnya. Jangan menarik kesimpulan dari apa yang tidak pernah disinggung atau didiskusikan sebelumnya. Kadang ketika mereview artikel, kita menemukan kesimpulan yang sepertingnya ‘sudah disiapkan’ sebelum penelitian dilakukan. Kesimpulan bukan ringkasan dari telaah literatur yang Anda lakukan (kecuali artikel yang kita tulisan adalah ‘literature review’), tetapi berpijak dari penelitian yang dilakukan.
3. Opini personal terkait dengan temuan yang didiskusikan. Tentu saja opini yang argumentatif.  Seorang pakar menyarankan untuk melakukan semacam ‘spekulasi’ di bagian ini. Mengapa ini perlu? Tidak jarang temuan penelitian membutuhkan penjelasan lebih lanjut mengapa misalnya, hasil penelitian tidak seperti yang diduga sebelumnya. Penjelasan spekulatif, tetapi tetap argumentatif, diperlukan. Tambahkan penjelas bahwa spekulasi yang diberikan membutuhkan validasi lebih lanjut.
4. Jangan lupa sebutkan keterbatasan penelitian yang kita lakukan. Keterbatasan seharusnya dikaitkan dengan proses penelitian yang dijalankan, dan tidak ‘ujug-ujug’ dimunculkan. Keterbatasan dapat terkait dengan teori yang digunakan, metode yang diaplikasikan, atau pun terkait dengan generalisasi hasil penelitian. Keterbatasan ini akan menjadi dasar untuk bagian selanjutnya.
5. Berikan ilustrasi atau saran penelitian lanjutan yang bisa dilakukan. Saran ini biasanya merupakan respon dari keterbatasan yang diuraikan sebelumnya.
6. Tuliskan implikasi penelitian. Secara umum, implikasi dapat dikelompokkan menjadi dua: implikasi praktik dan implikasi teoretik. Implikasi praktik terkait dengan relevansi hasil penelitian untuk para praktisi. Implikasi ini dapat maujud dalam beragam bentuk, seperti metode baru dan serangkaian prinsip yang bisa digunakan oleh praktisi. Implikasi teoretik terkait dengan konstribusi penelitian dalam pengembangan atau validasi teori.
7. Fakta atau data penting lainnya yang tidak muncul dalam uraian sebelumnya. Terus terang saya agak kurang ‘sreg’ dengan saran ini. Namun bisa jadi yang dimaksudkan adalah fakta penting yang dapat menguatkan argumen kita. Tetapi mengapa harus di bagian kesimpulan dan tidak di bagian diskusi atau bahkan analisis?

Tentu saja, dari ketujuh bagian tersebut, kita bisa meramu semuanya menjadi satu, atau bahkan menekankan pada bagian yang satu dengan mengurangi pada bagian yang lain. Salah satu alasanyanya adalah kadang ruang yang disediakan sangat terbatas untuk mengelaborasi semua bagian dengan cukup detil. Beberapa jurnal membatasi jumlah kata maksimal 5000 atau bahkan 3000. Beberapa jurnal yang lain cukup baik hati dengan mengakomodasi artikel yang lebih panjang. Jika demikian, misalnya, bagian ringkasan temuan dapat diabaikan, dan penekanan diberikan pada bagian lain. Persis seperti membuat masakan, akankah kita buat lebih pedas atau lebih asin?Atau mungkin kita mengatur kembali urutan dalam memasak untuk menghasilkan cita rasa yang diinginkan. Siapa yang akan menikmati masakan tersebut seringkali menjadi dasar pilihan. Begitu juga dengan artikel. Jurnal dengan sasaran praktisi, seperti MIS Quarterly Executive atau Communication of ACM, misalnya implikasi praktik penelitian sangat ditekankan. Berbeda halnya dengan jurnal yang berfokus pada pengembangan teori, seperti Academy of Management Review atau Administrative Science Quarterly; kontribusi teoretik nampaknya lebih menarik untuk ditampilkan.

Daftar Bacaan

Fathul Wahid.  2012.  Menulis kesimpulan. publikasiinternasional.
Trzeciak, J., dan MacKay, S. E. (1994). Study Skills for Academic Writing. New York: Prentice Hall.
Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15, 320-330.

BAGAIMANA MENULIS METODOLOGI?

Walsham (2006: 327) memberikan komentar yang menarik untuk bagian metodologi ini: “You won’t get a paper published in a good journal just because you have a well-written methodology section. However, you might get a paper rejected by a good journal because your methodology section is weak.”

di sini kita  tidak akan membahas apakah istilah yang benar, untuk bagian ini, metodologi atau metode. Keduanya digunakan dalam artikel jurnal, dan kita tidak perlu terjebak pada diskusi istilah.

Bagaimana seharusnya bagian metodologi ditulis? Tentu apa yang harus ditulis dan bagaimana menuliskannya mungkin berbeda antardisiplin. Karenanya, sengaja  kita tidak melakukan proses sintesis, tetapi memaparkan beragam ‘resep’.

Jika kita menggunakan kerangka artikel yang ditawarkan oleh Day (1975). Bagian ini berisi ‘materials and methods’  dan cocok untuk penelitian yang melibatkan eksperimen, terutama di laboratorium. Menurut Day (1975), tuliskan spesifikasi dan kuantitas teknis secara tepat, termasuk metode penyiapannya. Kadang, perlu juga menampikan karakteristik kimia dan fisika senyawa yang digunakan. Bagian metodologi ini harus juga mendeskripsikan dengan detil langkah-langkah penelitian yang dilakukan, sehingga peneliti lain dapat mengulanginya. Perlu diingat, meskipun saran Day ini mungkin bisa diaplikasikan dalam banyak disiplin, latar belakang dia yang kemungkinan besar adalah teknik (berdasar outlet publikasi yang dipilihnya), perlu dipertimbangkan dalam mengadopsinya.

Resep lain diberikan oleh Kallet (2004), dengan latar belakang kedokteran. Menurutnya, bagian metodologi harus memberikan informasi yang menunjukkan bagaimana sebuah studi dapat dinilai validitasnya. Bagian ini secara umum terdiri dari lima bagian:
  1. Menggambarkan material yang digunakan dalam studi
  2. Menjelaskan bagaimana material tersebut disiapkan
  3. Menggambarkan desain/prosedur/protokol penelitian
  4. Menjelaskan bagaimana pengukuran dilakukan dan perhitungan apa saja yang dilakukan
  5. Menyatakan uji statistik yang digunakan untuk menganalisis data.
Kallet (2004) secara eksplisit menegaskan untuk menggunakan kalimat lampau (past tense) ketika menulis bagian ini. Tidak kalah penting, di sini, adalah mengatur antarbagian dalam urutan yang logis.
Bagaimana untuk penelitian positivis yang melibatkan survei? Apakah konten bagian metodologi sama? Pencarian saya tidak menemukan resep yang siap pakai. Sebagai gantinya, kita bisa rujuk beberapa artikel yang diterbitkan dalam jurnal yang bereputasi bagus.

Untuk penelitian positivis akan kita rujuk artikel Sun et al. (2006). Menurut Kristiansand (2012) Straub saat ini adalah editor in chief jurnal paling bererputasi di bidang sistem informasi (SI) sejagad, MIS Quarterly. Straub bersama beberapa koleganya juga banyak menulis artikel tentang validasi instrumen dalam penelitian positivis. Lihat misalnya Boudreau et al. (2001), Straub et al. (2004), dan  Burton-Jones dan Straub (2006). Kristiansand  menjadi salah satu murid dalam kelasnya, dan berkesempatan memvalidasi pengetahuan terbatasnya dalam penelitian positivis yang dia pelajari secara otodidak, alias tanpa ‘guru formal’. 
Dalam artikel mereka, Sun et al. (2006) menulis bagian metodologi ke dalam bagian berikut:
  1. Konteks penelitian. Pada bagian ini, dijelaskan juga mengapa konteks tersebut relevan untuk menguji model penelitian yang dikembangkan. Beberapa argumen secara eksplisit dituliskan di sana. Argumentasi seperti ini diperlukan, terutama, karena tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kepuasan pengguna terhadap penyampaian layanan teknologi informasi; lebih didorong alasan konseptual, dibandingkan empirikal yang spesifik.
  2. Pengukuran. Pada bagian ini dijelaskan bagaimana item-item yang digunakan untuk mengukur variabel (konstruk) dikembangkan. Apakah berdasar penelitian sebelumnya, atau dikembangkan dari awal, dan apa alasannya, dijelaskan di sini. Variabel-variabel pendukung lain, seperti demografi, juga dijelaskan, bagaimana mengukurnya. Uji reliabilitas dan validitas intrumen pengukuran juga perlu dituliskan di sini.
  3. Prosedur pengumpulan data. Bagaimana kuesioner didistribusikan dan kepada siapa dijelaskan di sini. Bagian ini juga biasanya melaporkan response rate yang didapat, berapa respon yang valid, dan informasi lain yang relevan.
  4. Teknik analisis data. Bagian ini menjelaskan bagaimana data dianalisis, termasuk alasan mengapa teknik tersebut dipilih.
Untuk penelitian interpretif, ada panduan ‘tersembunyi’ di salah satu artikel Walsham (1995). Walsham adalah salah satu tokoh penting dalam pengenalan dan pengembangan penelitian interpretif di bidang SI. Dia pernah menjadi senior editor dua jurnal penting di bidang IS, MIS Quarterly dan Information Systems Research. Bagi saya, dia adalah profesor yang sangat mumpuni dan sederhana.
Bagi Walsham (1995), bagian metodologi, paling tidak, berisi:
  1. Deskripsi pengumpulan data. Bagian ini meliputi penjelasan tentang (a) tempat penelitian yang dipilih, termasuk alasan pemilihannya, (b) banyak orang yang diwawancarai serta posisinya dalam konteks tempat penelitian, (c) sumber data lain yang digunakan, (d) waktu atau durasi pengumpulan data.
  2. Deskrispi analisis data. Bagian ini menjelaskan (a) bagaimana hasil wawancara dan data lainnya direkam, (b) bagaimana analisis dilakukan, dan (c) bagaimana proses iteratif antara data dan teori terjadi. Deskripsi tentang strategi sensemaking yang digunakan dan bagaimana data dikodekan, termasuk penggunaan software pendukung, juga perlu dituliskan di sini.
Daftar Bacaan
Burton-Jones, A., & Straub, D. W. (2006). Reconceptualizing system usage: An approach and empirical test. Information Systems Research, 17(3), 228-246.
Boudreau, M. C., Gefen, D., & Straub, D. W. (2001). Validation in information systems research: A state-of-the-art assessment. MIS Quarterly, 1-16.
Day, R. (1975). How to write a scientific paper. IEEE Transaction on Professional Communication, 41(7), 486-494.
 Fathul Wahid.  2012. Menulis metodologi. Publikasiinternasional
Kallet, R. H. (2004). How to write the methods section of a research paper. Respiratory Care, 49(10), 1229-1232.

Straub, D., Boudreau, M. C., & Gefen, D. (2004). Validation guidelines for IS positivist research. Communications of the Association for Information Systems, 13(24), 380-427.
Sun, Y., Fang, Y., Lim, K. H., & Straub, D. (2012). User Satisfaction with Information Technology Service Delivery: A Social Capital Perspective. Information Systems Research.
Walsham, G. (2006). Doing interpretive research. European Journal of Information Systems, 15(3), 320-330.
Walsham, G. (1995). Interpretive case studies in IS research: nature and method. European Journal of Information Systems, 4(2), 74-81.

MELAKUKAN TINJAUAN PUSTAKA

Tahapan ini seharusnya selalu dilakukan ketika akan memulai penelitian. Tinajauan dilakukan untuk memberikan fondasi yang solid dalam mengembangkan pengetahuan. Selain itu, menurut Webster dan Watson (2002; h. xiii), “It facilitates theory development, closes areas where a plethora of research exists, and uncovers areas where research is needed.” Ini memfasilitasi pengembangan teori, menutup daerah di mana sejumlah besar penelitian yang ada, dan mengungkapkan daerah mana penelitian diperlukan.

Dalam praktik, hasil  tinjauan pustaka bisa menjadi sebuah bab dalam tesis atau disertasi (dalam bentuk monograf), atau dalam bentuk artikel. Pada tahap penyusunan proposal penelitian pun, seharusnya review ini dilakukan.


Seringkali artikel yang diklaim sebagai tinjauan pustaka, sebetulnya belum kredibel disebut demikian. Betul, artikel didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya, tetapi proses review tidak dilakukan secara sistematis. Heeks dan Bailur (2007) menyebutnya dengan metode ‘hunt and peck‘ (berburu dan mematuk), ‘berburu’ artikel seketemunya dan kemudian ‘dipatuk’. Justru metode inilah yang banyak kita temukan. Dalam konteks Indonesia, akses basis data artikel yang terbatas, seringkali menjadi biangnya. Namun, perkembangan terakhir nampaknya cukup menggemberikan karena semakin banyak universitas yang melanggani layanan portal jurnal, semacam ProQuest, ScienceDirect, Ebsco, atau yang lainnya; baik secara mandiri maupun melalui Kopertis dan Ditjen Dikti Depdikbud. Untuk basisdata artikel terbitan Indonesia, Portal Garuda yang dikelola oleh Ditjen Dikti semakin berkembang, dan bisa dijadikan rujukan tinjauan pustaka.

Bagaimana seharusnya tinjauan dilakukan? Artikel Webster dan Watson (2002) memberikan panduan yang sangat praktis.

Pertama, secara umum, proses diawali dengan melakukan identifikasi literatur yang relevan. Kita bisa gunakan kata kunci atau kombinasi kata kunci untuk mengumpulkan artikel. Misalnya, ketika saya akan melakukan artikel tentang eGovernment di negara berkembang, maka saya gunakan kombinasi kata kunci: electronic government dan developing country, eGovernment dan developing country, digital government dan developing country. Beragam portal jurnal saya gunakan. Pencarian dapat diatur pada bagian yang kita inginkan, seperti hanya pada judul, abstrak, kata kunci, atau keseluruhan teks. Variabel waktu juga bisa ditambahkan, misalnya hanya pada artikel yang terbit pada tahun 2005 sampai 2010. begitu juga outlet publikasi, hanya jurnal atau termasuk prosiding. Artikel relevan lain juga bisa dikumpulkan dengan melihat daftar referensi yang digunakan oleh artikel yang sudah kita temukan. Berapa artikel yang dimasukkan? Beragam dan tergantung ketersediaan dan kedalaman review yang dilakukan. Misalnya, Van de Ven dan Poole (1995) melalukan review terhadap 200.000 judul, 2.000 abstrak, dan 200 artikel.

Kedua, yang perlu dilakukan akan mengembangkan rerangka atau framework yang akan kita gunakan untuk mengkategorisasikan artikel. Jika kita bisa mendapatkan artikel sebelumnya yang bisa diacu, akan sangat mudah. Namun tidak selamanya seperti itu. Misalnya, dalam menggelompokkan artikel tentang enterprise resource planning (ERP), kita bisa gunakan tahapan daur-hidup ERP yang dikembangkan oleh Esteves dan Pastor (2001) yang terdiri dari adoption decision, acquisition, implementation, use and maintenance, evolution, dan retirement -Keputusan adopsi, akuisisi, implementasi, penggunaan dan pemeliharaan, evolusi, Dan pensiun. Artikel yang kita kumpulkan kita baca satu persatu untuk dimasukkan ke dalam kelompok yang tepat. Jika kita bisa bekerja dengan kolega, maka hasil akan menjadi lebih valid karena ada proses saling memeriksa. Perlu diingat, untuk setiap konsep atau kategori yang kita gunakan, berikan definisi yang jelas.

Jika kita tidak menemukan rerangka yang bisa gunakan secara langsung, alterabtifnya adalah dengan mengembangkan rerangka sendiri. Tentu usaha untuk membangun argumen menjadi lebih berat. Kita bisa mendapatkan ide konsep dari hasil pembacaan terjadap artikel yang ada. Rerangka ini akan direvisi berkali-kali melalui proses coding dan re-coding. Bisa jadi pada tahap awal, kita gunakan kode A, B, C, D, dan E. Ternyata dalam perjalanannya, kode ini bisa bertambah, atau banhkan berkurang karena digabung.

Dalam tahapan ini, tinjauan harusnya concept-centric dan bukan author-centric. Yang terakhir ini sering saya temui, dan tidak dapat digunakan untuk melakukan sintesis. Concept-centric dilakukan dengan mengelomppokkan artikel berdasar konsep yang didiskusikan, sedang author centric berdasar pengarangnya. Misalnya, sewaktu saya mereview artikel tentang eGovernment di negara berkembang, salah satu konsep yang saya gunakan adakan ‘adopsi’. Berdasar konsep ini, sejumlah artikel saya temukan. Setelah dilakukan pembacaan, ternyata artikel dapat dikelompokkan lagi ke dalam sub-kategori yang terkait dengan ‘adopsi, yaitu faktor penentu adopsi, proses adopsi, dan hambatan adopsi. Kita pun akhirnya bisa mengelaborasi lebih lanjut, dengan memberikan ilustrasi berdasar penjelasan teoritis, temuan penelitian sebelumnya, atau contoh praktis (Webster dan Watson, 2002). Bisa jadi, ditemukan lagi pola tambahan subsub-kategori. Hanya saja, perlu diperhatikan seberapa detil pengelompokkan dilakukan. Apakah akan memberikan tilikan (insights) baru atau justru mengaburkan konsep utama? Kita bisa timbang-timbang.

Pengelompokkan juga bisa dilakukan berdasar serangkaian konsep, misal selain terkait dengan tema penelitian, juag dilakukan berdasar epistemologi penelitian, metode penelitian, unit analisis, atau yang lainnya.
Hasil tahapan ini bisa disajikan dalam tabel atau tabulasi-silang antar dua kategorisasi (misal antara domain dan unit analisis).

Ketiga, karena tujuan tinjauan atau review adalah memetakan masa lalu dan menawarkan agenda ke depan, maka, tahapan selanjutnya adalah mendiskusikan apa yang sudah dilakukan oleh penelitian sebelumnya dan apa yang belum. Identifikasi ini akan memberikan daftar agenda penelitian yang bisa dilakukan pada masa akan datang. Atau membangun teori baru berdasar sintesis yang dilakukan, dengan proposisinya. Tentu proses ini seringkali tidak serta merta. Perlu proses kontemplasi, perenungan, dan mungkin membaca artikel tambahan.
Dalam menulis laporan hasil atau artikel literature review, Webster dan Watson (2002; h. xxi) memberikan ‘resep’ yang bisa diikuti.

1.  memotivasi topik penelitian dan menjelaskan kontribusi dari tinjauan
2. menjelaskan konsep-konsep kunci
3.    melukiskan batas-batas penelitian
4.   tinjauan literatur sebelumnya yang relevan
5.  mengembangkan sebuah model untuk memandu penelitian masa depan
6.  membenarkan proposisi dengan menghadirkan penjelasan teoritis, temuan empiris masa lalu, dan contoh-contoh praktis
7.  menyajikan menyimpulkan implikasi


Sudah jelas belum? Penjelasan lebih detil bisa diakses di artikelnya Webster dan Watson (2002).
Apa akibatnya jika literature review tidak dilakukan secara memadai? Duplikasi penelitian adalah salah satunya. Ini seperti mendesain kembali roda yang sudah ditemukan orang lain ratusan tahun lalu.

Daftar bacaan

Esteves, J., dan Pastor, J. (2001). Enterprise resource planning systems research: An annotated bibliography. Communications of the Association for Information Systems, 7.

Fathul Wahid. 2012. Melakukan "literature review". publikasiinternasional.
Heeks, R., dan Bailur, S. (2007). Analyzing e-government research: Perspectives, philosophies, theories, methods, and practice. Government Information Quarterly, 24, 243-265.
Van de Ven, A. H., dan Poole, M. S. (1995). Explaining development and change in organizations.
Academy of Management Review, 20(3), 510–540.
Webster, J., dan Watson, R. T. (2002). Analyzing the past to prepare for the future: Writing a literature review. MIS Quarterly, 26(2), xiii-xxiii.

Menulis Tinjauan Pustaka - landasan teori

Dalam menulis tesis atau disertasi kita perlu menulis landasan teori. Pertanyaannya adalah apa itu teori dan mengapa harus menggunakan teori?  Posting ini mendiskusikan bagaimana menulis landasan teori yang ‘menginspirasi’ dalam artikel.

Di beberapa jurnal, banyak temukan, penulisan teori digabung di bagian pendahuluan. Disadari atau tidak ada peran teori dalam disiplin tersebut dan itu berbeda jika dibandingkan dengan misalnya, sistem informasi atau administrasi publik.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah kita harus membedakan antara kajian penelitian sebelumnya (prior works, literature review) dan landasan teori (theoretical basis, theoretical framework). Keduanya bersinggungan  tetapi tidak sam. Keduanya sama-sama dijadikan acuan dalam melakukan penelitian. Untuk literature review, silakan lihat posting tentang ‘melakukan literature review’.

Perlu dicatat ada beragam definisi teori. Sebagian akademisi hanya menganggap teori yang sudah mapan (seperti ANT, structuration theory, institutional theory, diffusion of innovation theory), sedangkan beberapa lain yang mendefinisikannya dengan lebih longgar, termasuk memasukkan model ke dalam teori (lihat misalnya Whetten, 1989). Heeks dan Bailur (2007) membedakan ‘teori’ dalam penelitian menjadi: teori, framework, model, skema, konsep, dan kategori. Berdasar pengamatan dan pengalaman Kristinsan (2012), minimal ada dua hal yang perlu diperhatikan dan dua kesalahan terkait yang perlu dihindari.
Pertama, teori bisa beragam, menurut tingkat generalisasi (meta vs grand), menurut keluasan cakupan (substantive vs formal vs mid-range) dan menurut ‘fungsi’ (menjelaskan, memprediksi, dan seterusnya). Dalam penelitian teori pun kadang digunakan secara ‘lengkap’ dan kadang hanya sebagian. Tidak jarang, lebih dari teori digabungkan untuk meningkatkan ‘daya jelas’ (Okhuysen & Bonardi, 2011). Apapun pilihannya, tuliskan bagian yang akan digunakan dalam membingkai penelitian, baik dalam pengumpulan maupun analisis data. Jika teori terdiri dari a sampai z, dan kita hanya menggunakan bagian a, b, g, misalnya, tuliskan hanya bagian a, b, dan g. Dengan demikian, bagian landasan teori tidak ‘nyowo woro’ dan terkesan ‘asal comot’. Praktik ini sering saya temukan. Pilih yang relevan dan deskripsikan dengan detil. Di sini beragam versi dan interpretasi atas teori bisa dikutip untuk memperkaya deskripsi.

Kedua, sebagaimana halnya melakukan literature review, atur penulisan bagian landasan teori tidak berdasar penulis tetapi konsep. Jangan sampai, setiap paragraf, sebagai contoh ekstrim, diawali dengan “Menurut A …”, “Menurut B …’, dan seterusnya (Webster & Watson, 2002). Gaya penulisan seperti ini sering saya temukan. Lakukan sintesis jika memungkinkan. Jika ada beragam 10 pendapat, misalnya, kita bisa kelompokkan menjadi dua atau lebih. Jika lebih dari satu teori digunakan, pastikan dua-duanya (atau lebih) mempunyai ‘kedekatan’ dan asumsi yang mendasarinya ‘kompatibel’ (Whetten, 1989).

Bagaimana mendeteksi penulisan landasan teori yang menginspirasi? Gunakan ukuran yang sederhana. Kalau setelah membaca kita mendapatkan pengetahuan baru atau perluasan pengetahuan akan teori yang digunakan, berarti bagian ini menginspirasi. Kalau setelah membaca, kok terasa hambar tidak mendapatkan pencerahan, berarti tidak. Ada gradasi di antaranya. Semakin keras ‘wow’ yang kita ‘teriakkan’, semakin menginspirasi bagian ini. :-)

Setelah Anda membaca posting ini, mudah-mudahan dari mulut pembaca yang baik terdengar ‘wow’, meskipun mungkin pelan. Kalau tidak, berarti  posting ini dalam masalah. :) )

Sumber bacaan:

Fathul Wahid. 2012. Menulis landasan teori. www.publikasiinternasional.blogspot.com
Gregor, S. (2006). The nature of theory in information systems. MIS Quarterly, 30(3), 611-642.
Heeks, R., & Bailur, S. (2007). Analyzing e-government research: Perspectives, philosophies, theories, methods, and practice. Government Information Quarterly, 24(2), 243-265.

Okhuysen, G., & Bonardi, J. P. (2011). The challenges of building theory by combining lenses. Academy of Management Review, 36(1), 6-11.
Webster, J., & Watson, R. T. (2002). Analyzing the Past to Prepare for the Future: Writing a Literature Review. MIS Quarterly, 26(2), xiii-xxiii.
Whetten, D. A. (1989). What constitutes a theoretical contribution?. Academy of Management Review, 14(4), 490-495.